Pada tahun 1929, Quthb kuliah di Dar al-‘Ulum dan memperoleh gelar Sarjana Muda di bidang Pendidikan pada tahun 1933, kemudian bekerja sebagai pengawas pada Departemen Pendidikan. Tahun 1949 ia mendapat tugas belajar ke Amerika Serikat untuk memperdalam pengetahuannya di bidang Pendidikan selama 20 tahun, tepatnya di Wilson’s Teacher’s College Washington dan Stanford University California.
Sekembalinya dari Amerika, Quthb bergabung dengan gerakan Ikhwanul Muslimin karena kekagumannya pada Hasan Al-Banna, pendiri gerakan tersebut. Quthb menjadi tokoh penting dalam kelompok ini. Pada tahun 1954, Quthb diangkat menjadi Pemimpin Redaksi harian Ikhwanul Muslimin. Namun, baru dua bulan terbit, harian tersebut dibredel oleh pemerintahan Gammal Abdul Nasser.
Menurut Quthb, saat itu Ikhwanul Muslimin menghadapi situasi yang hampir sama dengan situasi masyarakat saat Islam datang untuk pertama kalinya, yaitu kebodohan tentang akidah Islam dan jauh dari nilai-nilai etik Islam (jahiliyah). Namun sayangnya, kesucian niat dan semangatnya dalam memperjuangkan orang banyak mengantarnya ke penjara pada 13 Juli 1955.
Pada tahun 1964 Quthb dibebaskan atas permintaan Abdul Salam Arif, Presiden Irak, yang mengadakan kunjungan ke Mesir. Saat itu, menurut informasi Abdul Hakim Abidin, salah seorang sahabatnya, Abdul Salam meminta Quthb untuk ikut bersamanya ke Irak, tetapi dia menolak seraya menyatakan, “Ini adalah medan perjuangan yang tidak bisa saya tinggalkan”.
Setahun kemudian (1965) ia kembali ditangkap. Presiden Nasser menguatkan tuduhannya bahwa Quthb berkomplot untuk membunuhnya. Berdasarkan UU No. 911 tahun 1966, Presiden mempunyai kekuasaan untuk menahan siapa pun yang dianggap bersalah.
Sayyid Quthb diadili oleh Pengadilan Militer pada tanggal 12 April 1966. Tuduhannya sebagian besar berdasarkan tulisannya, Ma’alim fi ath-thariq, di mana isinya dianggap berupaya menumbangkan pemerintahan Mesir dengan kekerasan. Kemudian, pada 21 Agustus 1966 Sayyid Quthb bersama Abdul Fattah Ismail dan Muhammad Yusuf Hawwasy dinyatakan bersalah dan dihukum mati.
Quthb dihukum gantung bersama dua orang sahabatnya pada 29 Agustus 1966. Pemerintah Mesir tidak menghiraukan protes dari Amnesti Internasional yang memandang proses peradilan militer terhadap Sayyid Quthub sama sekali bertentangan dengan rasa keadilan.
Sejak saat itu Quthb dijuluki sebagai Syahid bagi kebangkitan Islam, yang rela mengorbankan nyawanya di tiang gantungan.
Tafsir Fi Zhilal al-Qur’an, Sarana Dakwah dari Balik Jeruji Penjara
Umej Bhatia (peneliti di Pusat Studi Timur Tengah, Universitas Harvard, AS), dalam A Critical Reading of Sayyid Quthb’s Qur’anic Exegesis, mengatakan, pada kondisi sosial dan politik itulah karya-karya Sayyid Quthb tentang pergerakan melawan penguasa tiran harus dipahami. Tafsir Fi Zhilal al-Qur’an (Di Bawah Naungan Alquran) merepresentasikan gagasan-gagasan pergerakan tersebut.
Umej Bhatia menilai, tafsir Fi Zhilal al-Qur’an menyajikan cara baru dalam menafsirkan Alquran yang belum pernah dilakukan oleh ulama-ulama klasik. Sayyid Quthb memasukkan unsur-unsur politik dan ideologi dengan sangat serasi. Boleh dibilang, tafsir yang satu ini paling unik karena menjadikan Alquran sebagai pijakan utama untuk melakukan revolusi politik dan sosial.
Tampaknya, menurut Umej, Sayyid Quthb dipengaruhi oleh dua ulama agung sebelumnya, yakni Muhammad Abduh dan Rashid Ridho. Tafsir Al-Mannar karya kedua ulama tersebut lebih memfokuskan penafsiran Alquran dalam konteks sosial masyarakat ketimbang mengupas makna kata per kata. “Akan tetapi, Sayyid Quthb selangkah lebih maju daripada kedua pendahulunya itu. Ia berhasil mengolaborasikan teori-teori sosial Barat ke dalam pesan-pesan agung Alquran,” kata Umej.
Penilaian serupa juga disampaikan oleh Dr Ahzami Samiun Jazuli, pakar tafsir Alquran dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Menurut Ahzami, tafsir yang ditulis oleh Sayyid Quthb ini merupakan tafsir haraki (tafsir pergerakan) atau tafsir dakwah. Sang ulama tidak menggunakan manhaj (metode) penulisan tafsir seperti ulama-ulama terdahulu, misalnya tafsir tahlili (tafsir analitis) yang memulai penafsiran dari penjelasan kata dalam ayat Alquran.
“Sayyid Quthb tidak menjelaskan panjang lebar makna kata dalam suatu ayat. Tidak pula menerangkan secara detail aspek-aspek fiqhiyyah (hukum-hukum fikih) karena pembahasan semacam itu sudah banyak dikupas dalam kitab-kitab tafsir klasik,” jelas Ahzami.
Alquran bagi Sayyid Quthb merupakan kitab pedoman hidup yang komprehensif ke arah kehidupan yang diridhai Allah SWT. Oleh sebab itu, ia menamai tafsirnya itu Fi Zhilal al-Qur’an supaya umat Islam benar-benar berada dalam tuntunan dan naungan Alquran.
Tafsir Fi Zhilal al-Qur’an merupakan hasil dari dinamika akademis, politik, dan sosial. Ia tidak semata-mata rekreasi intelektual yang mendekati Alquran dari perspektif ilmu pengetahuan. Namun, juga menggunakan pendekatan atas dasar pengalaman hidup sang penulis. Tidak mengherankan, kata Ahzami, kalau kitab tafsir ini berpengaruh besar terhadap umat Islam di seluruh dunia, terutama mereka yang aktif dalam gerakan dakwah.
Dr Muchlis Hanafi, ahli tafsir lulusan Universitas Al-Azhar Kairo, melihat fenomena tafsir Fi Zhilal al-Qur’an ini dari sudut pandang yang berbeda. Menurutnya, ada beberapa aspek yang menonjol dalam karya Sayyid Quthb itu. Di antaranya adalah al-zauq al-adabi (ketinggian nilai sastra). Sayyid Quthb, menurut Muchlis, menjelaskan makna ayat-ayat Alquran dengan gaya bahasa yang sangat indah. Sehingga, punya kekuatan magnetik dan pengaruh yang besar terhadap pembacanya.
Kelebihan lainnya, menurut Muchlis, adalah al-wihdah al-maudhu’iyyah (kesatuan tema). Setiap surat yang ia tafsirkan diawali dengan mukadimah. Dan, mukadimah itu menjelaskan secara komprehensif isi surah sehingga tampak benang merah dan kesatuan tema sebuah surah.
Metode ini bukanlah hal baru dalam tradisi penafsiran Alquran, tetapi Sayyid Quthb berhasil menggunakannya dengan sangat baik. Saat ini, dapat disaksikan sebuah tafsir kontemporer yang bernilai tinggi. Namun demikian, tafsir ini tidak serta-merta lolos dari kritik para pegiat tafsir Alquran.
Dari segi metodologi, banyak yang menilai bahwa Sayyid Quthb melanggar tata aturan penafsiran Alquran yang dianut oleh para ulama salaf. Ia terlalu banyak menggunakan akal daripada merujuk pada Alquran, hadis Nabi SAW, dan tradisi para sahabat.
Ide-ide revolusioner
Umej Bhatia berpendapat bahwa penjara dan penyiksaan berperan penting dalam membentuk karakter pemikiran Sayyid Quthb. Umej memakai istilah prison perspective (perspektif penjara) bagi perspektif Sayyid Quthb dalam penafsiran Alquran. Yaitu, sebuah cara pandang korban keganasan rezim otoriter terhadap realitas sosial politik di masanya.
Kepahitan pengalaman politik Sayyid Quthb mendorongnya menyerukan konsep hakimiyatullah (kekuasaan hanya milik Allah) sebagaimana diusung oleh Abu al-’Ala al-Maududi di Pakistan. Hakimiyatullah berarti kekuasaan harus dikembalikan kepada Allah, bukan dikuasai manusia zalim yang melanggar hukum-hukum Tuhan. Umat Islam wajib berjihad mengembalikan tata aturan itu sesuai dengan doktrin Alquran.
Untuk itu, menurut Sayyid Quthb, perlu ada gerakan At-Thali’ah al-Islamiyah , yaitu menyiapkan generasi Muslim baru yang berpegang teguh pada ajaran-ajaran Allah serta mendidik mereka untuk menjadi pemimpin umat di masa depan. Ide-ide pergerakan dan perlawanan Sayyid Quthb itu tampak jelas dalam mukadimah tafsirnya pada surah Al-An’am.
Ia memaparkan konsep masyarakat ideal sesuai dengan tuntunan Islam; berseru kepada para juru dakwah untuk konsisten berada di jalan ini; serta menancapkan akidah agar sistem pemerintahan yang terbentuk kelak tidak melanggar tata aturan yang ditetapkan Allah SWT. “Orang-orang yang tidak memiliki akidah adalah pribadi-pribadi jahiliyah. Kejahiliyahan mereka memenuhi akal, pikiran, dan hati,” tegas Sayyid Quthb.
Dalam pemaparannya tentang tatanan sosial politik yang ideal menurut doktrin Islam, Sayyid Quthb tidak segan-segan melabeli status ‘kafir’ kepada para penguasa zalim atau yang melanggar hukum Allah. Ini mengundang respons beragam dari banyak kalangan, bahkan dari ulama sendiri.
Dr Yusuf al-Qardhawi menilai bahwa pemikiran takfir (pengkafiran pada Muslim lain) dalam karya Sayyid Quthb sama sekali tidak mencerminkan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah yang dianut mayoritas umat Islam di dunia. Pemikiran ini, tambah Qardhawi, juga tidak mencerminkan pemikiran gerakan Ikhwan al-Muslimin karena pemikiran takfir sama sekali tidak selaras dengan pemikiran organisasi itu ( RepublikaOnline, 9 Agustus 2009).
Pernyataan Qardhawi tersebut disanggah sejumlah tokoh Ihkwan al-Muslimin. Menurut mereka, Sayyid Quthb tidak keluar dari Ahlussunnah wal Jamaah. Semua pemikiran Sayyid Quthb selaras dengan manhaj Ikhwan al-Muslimin, tidak ada satu pun yang menyalahi kaidah dan dasar organisasi tersebut. Quthb, menurut mereka, juga tidak pernah mengafirkan kelompok Islam lain dan tidak pernah mendakwahkan perlawanan terhadap pemerintahan yang sah ( RepublikaOnline, 19 Agustus 2009).
Menawarkan Pemecahan Problem Umat
Tafsir Fi Zhilal al-Qur’an ditulis oleh Sayyid Quthb selama kurang lebih 15 tahun, yaitu sejak tahun 1950-ah hingga 1960-an. Pada mulanya, ia memulai menulis tafsirnya itu atas permintaan rekannya, Said Ramadhan, redaktur majalah Al-Muslimun yang terbit di Kairo dan Damaskus.
Sang mufasir menyambut baik permintaan itu dan memberi nama rubrik tersebut Fi Zhilalil Quran. Tulisan pertama yang dimuat adalah penafsiran surah Alfatihah, kemudian surah Albaqarah. Akan tetapi, beberapa bulan kemudian, Sayyid Quthb memutuskan menyusun satu kitab tafsir sendiri yang juga ia beri nama Fi Zhilalil Quran .
Karya beliau lantas dicetak dan didistribusikan oleh penerbit al-Bab al-Halabi. Penerbitan pertamanya tidak langsung berjumlah 30 juz, namun tiap satu juz. Setiap juznya terbit dalam dua bulan sekali. Proses penyempurnaan penafsiran selanjutnya diselesaikan dalam penjara.
Edisi pertama dalam bentuk 30 juz diterbitkan pada tahun 1979. Sejak saat itu, persebarannya meluas hingga mencapai hampir seluruh negara Muslim di dunia. Umej Bhatia mencatat, kitab tafsir ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Persia, Turki, Urdu, Bengali, Indonesia, dan Melayu.
Di negara-negara Arab, volume penjualan tafsir Fi Zhilal al-Qur’an bak kacang goreng. Selama bertahun-tahun, tafsir itu menjadi best seller. Menurut cerita Syekh Abdullah Azzam, pada pertengahan 1980-an, jika di Lebanon ada percetakan mulai bangkrut, kemudian pemiliknya mencetak Fi Zhilalill Quran dan juga buku-buku Sayyid Quthb yang lain, percetakan tersebut selamat dari kebangkrutan.
Gaya bahasa dan kualitas penafsiran Sayyid Quthb merupakan daya pikat utama bagi para pembaca untuk menyelami samudra ilmu Alquran. Di dalamnya tersaji konsep-konsep Islam modern tentang jihad, masyarakat jahiliyyah dan Islam, serta ummah .
Konsep-konsep tersebut menumbuhkan kesadaran baru akan gerakan sosial politik berdasarkan doktrin Islam. Tak ayal, banyak peneliti Barat yang melabeli Sayyid Quthb sebagai pengusung radikalisme, ekstremisme, fundamentalisme, atau atribut-atribut yang menjurus pada nuansa kekerasan lainnya.
Tentang konsep umat, Sayyid Quthb mengutarakan bahwa pembentukan pribadi umat harus berdasarkan keimanan yang kokoh, optimisme pada rahmat dan pertolongan Allah, serta rasa percaya diri sebagai umat terbaik yang diutus Allah di muka bumi ini. Segala permasalahan umat, menurutnya, harus dicarikan solusinya dari kitab Allah SWT dan sunah nabi.
“Keimanan berimplikasi pada sikap pasrah dan menyerah kepada hukum-hukum Allah. Jiwa-jiwa yang tulus akan menerima segala sistem hukum dan perundangan Islam secara sukarela. Tidak terdetik satu penentangan pun sejak aturan tersebut dikeluarkan. Juga, tak ada sedikit pun keengganan untuk melaksanakannya ketika hukum itu diterima,” kata Sayyid Quthb dalam mukadimah surat Al-An’Am.
Secara umum, tema yang ditekankan dalam tafsir Fi Zhilal al-Qur’an meliputi gagasan tentang hubungan antarsesama manusia. Allah SWT, menurutnya, menghendaki sebuah bangunan sosial yang harmonis berdasarkan keimanan dan cinta kasih. Konsep ini menghindarkan terbentuknya kekuasaan tiran yang menebarkan kebencian, kebodohan, dan kekafiran. rid/taq/www.republika.co.id
Syaikh Ahmad Rifa’i
Tanbihun.com – Syaikh Ahmad Rifa’i (bukan Syaikh Ahmad Ar Rifa’i yang karyanya di muat bersambung di Cahaya Sufi). Dilahirkan di desa tempuran Kabupaten Kendal Jawa Tengah pada tanggal 9 Muharram 1200 H bertepatan dengan tahun 1786 M. Ayahnya bernama R.K.H. Abi Suja’ alias Raden Soetjowidjojo, yang menjadi hakim agama di Kabupaten tersebut. Ayahnya meninggal ketika Ahmad Rifa’i berumur 6 tahun. Saudara dekatnya yang paling besar ialah Syaikh Al Asy’ari (suami Nyai Rajiyah binti Muhammad) ulama pendiri/pemimpin Pondok Pesantren Kaliwungu, Semarang Jawa Tengah. Beliaulah yang mengasuh dan membesarkan Ahmad Rifa’i muda dengan pendidikan keagamaan yang benar selama 20 tahun masa mudanya.
Pada tahun 1230/1816 M, ketika usianya mencapai 30 tahun, Ahmad Rifa’i pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji, dan selama 8 tahun mendalami ilmu-ilmu keislaman di bawah guru Syaikh Usman dan Syaikh Al-Faqih Muhammad Ibn Abd Al Aziz al Jaisyi, kemudian melanjutkan belajarnya ke Mesir selama 12 tahun di Kairo, dia belajar kitab-kitab fiqh mazhab Syafi’i, demikian dilakukan dengan petunjuk dan arahan guru-guru agung dan dua diantara guru-gurunya adalah Syaikh Ibrahim al Bajuri dan Syaikh Abdurrahman al Misry.
Pulang Ke Indonesia
Menurut riwayat, setelah 20 Tahun belajar di Timur Tengah, kemudian Ahmad Rifa’i pulang ke Indonesia bersama syeikh Nawawi Banten dan syaikh Muhammad Kholil Bangkalan Madura. Dan pada waktu ingin kembali ke Indonesia ketiganya duduk berkeliling memusyawarahkan untuk menyatakan menyebarkan ilmu yang di perolehnya dalam bentuk tulisan, maka mereka bersepakat untuk mengamalkan kewajiban menyampaikan diantara ketiga ulama tersebut yaitu:
- Pertama, kewajiban menjalankan amar ma’ruf nahi mungkar
- Kedua, menterjemahkan kitab-kitab berbahasa Arab ke dalam bahasa pribumi untuk mencapai kesuksesan dakwah islamiyah.
- Ketiga, mendirikan pondok-pondok pesantren
- Keempat, Jihad fi sabilillah untuk mengusir penjajah Belanda dari tanah air.
Mereka sepakat bahwa setiap individu wajib mengembangkan ajaran, pendidikan dan keaagamaan Islam. Maka Muhammad Kholil Bangkalan bertanggung jawab untuk menyusun kitab-kitab tentang Tauhid, syaikh Nawawi Banten bertanggung jawab menyusun kitab-kitab mengenai Tasawuf dan Syeikh ahmad Rifa’i di beri tanggung jawab untuk menyusun kitab-kitab Fiqih. Kedua ulama dari ketiganya memutuskan untuk hidup di tanah airnya, adapun Syaikh Nawawi Banten pada kesempatan lain pergi ke Mekah dan hidup disana sampai wafatnya dan di kuburkan di Ma’la. Syaikh Ahmad Rifa’i kemudian memilih tinggal di Desa Kaliwungu Kendal, agar bisa memusatkan perhatiannya merealisasikan pengajaran ilmu-ilmu keagamaan dan mengarang kitab-kitab Tarajumah (terjemahan/ saduran dari bahasa Arab ke bahasa Jawi). Di samping kesibukannya dalam urusan pengajaran dan mengarang kitab, Ahmad Rifa’i bekerja keras menanamkan keislaman dan patriotisme non cooperative kepada pemerintah colonial khususnya kepada murid-muridnya dan kepada masyarakat pada umumnya. Pada waktu itu pemerintah kolonial dan antek-anteknya baru saja menyelesaikan perang Diponegoro (1825- 1830) yang ber- larut larut itu dan menguras keuangan kompeni. Maka kemudian mereka mulai mengeruk kembali kekayaan tanah Jawa dan menjarah penduduk dan tanah airnya untuk menambal kerugiannya itu dan membawanya ke negeri kincir angin Belanda.
Perlawanan Terhadap Colonial Belanda
Ahmad Rifa’i memandang, bahwa mereka itu adalah orang-orang yang bertanggungjawab atas kesengsaraan yang telah menimpa umat islam pada waktu itu. Gerakan Ahmad Rifa’i telah menyebabkan harus berhadapan dengan pemerintah kolonial. Karena takut, pemerintah Belanda memanggil Ahmad Rifa’i dan memasukkannya ke penjara Kendal dekat Semarang tanpa alasan yang masuk akal, gara- gara dia menolak “SEBO” terhadap pembesar negeri. Sebo adalah berjalan sambil jongkok tatkala menghadap seorang pembesar/ Belanda.
Setelah keluar dari penjara Ahmad Rifa’i pindah ke desa Kalisalak (Kalisasak). Di desa tersebut dia menikahi janda Demang Kalisalak yang solehah bernama Sujinah, setelah istri pertamanya, Ummil Umrah meninggal dunia. Kalisalak adalah desa terpencil yang terletak di kecamatan Limpung kecamatan Batang, Jawa Tengah. Di desa tersebut pertama kali Ahmad RIfa’i mendirikan lembaga pondok pesantren yang namanya semakin terkenal di kalangan orang banyak dankemudian berdatanganlah para murid dari berbagai daerah seperti Kendal, Pekalongan,Wonosobo, dan daerah lainnya.
Kaderisasi
Untuk memperkuat dan melestarikan pengajarannya selama-lamanya, Ahmad Rifa’i RA mempersiapkan murid-muridnya dengan cara- cara khusus seperti pengkaderan untuk masa depan tentang pemikiran dan pergerakannya. Mereka itu orang-orang yang dibelakang hari akan mengembangkan kitab-kitab terjemah/ saduran dari kitab- kitab berbahasa Arab yang telah dikarang oleh Ahmad Rifa’i tersebut dan mereka di kenal sebagai para Penerus Generasi Awal. Di antara mereka adalah Abdul Hamid bin Giwa alias kiai Hadits (Wonosobo), Abu Hasan (Wonosobo), Abdul Hadi (Wonosobo), Abu Ilham (Batang), Ilhan bin Abu Ilham (Batang), Maufura bin Nawawi (Batang), Idris bin Abu Ilham (Indramayu), Abdul Manaf dan Abdul Qahar (Kendal), Iman Tsani (Kebumen), Muharar (Purworejo), Muhsin (Kendal), Muhammad Thuba bin Rodam (Kendal), serta, Abu Salim (Pekalongan) dan sejumlah murid lainnya yang masih banyak.
Diasingkan ke Ambon
Ketika pemerintah penjajah mengetahui bahwa gerakan syaikh Ahmad Rifa’i lambat laun semakin banyak pengikutnya dari daerah lain, maka pemerintah colonial segera sadar bahwa gerakan ini dapat mengarah kepada perlawanan social kepada pemerintah colonial. Oleh karena itu dengan berbagai cara mereka merekayasa dan kemudian menangkap dan mengasingkan Ahmad Rifa’i ke Ambon pada tanggal 16 Syawal 1275 Hijriah (19 Mei 1895). Tuduhannya sangat sumir, yakni “membahayakan keamanan Negara”, dalam hal ini pemerintahan colonial Hindia Belanda.
Tidak hanya itu, untuk melawan ketenaran beliau dan mematikan karakternya (Character Assasination), kemudian mereka merekayasa sebuah karya sastra berbentuk tembang Jawa sesuai budaya Jawa yang masyarakatnya suka URO- URO (menyanyikan tembang Jawa sambil berbaring menunggu padi menguning atau sambil menggambalakan kerbau) yang dengan cara itu citra buruk Syaikh Rifa’I dicoba ditebarkan ditengah masyarakat Jawa yang suka tembang itu, dan nampaknya media itu cukup berhasil menjatuhkna citra beliau diantara masyarakat kecil. Karya sastra ini kemudian terkenal dengan Judul “ Serat Cebolek” .
Maka Ahmad Rifa’i kemudian menjadi terasing dari khalayak ramai karena dibuang ditempat yang masyarakatnya tidak seagama, tetapi beliau tidak patah semangat, beliau tidak meninggalkan jihadnya mengarang kitab sebagai wahana untuk dakwah islamiyah. Kini kitab karangan beliau tidak berbahasa Jawa tapi berbahasa Melayu. Perlu diketahui seluruh karya Ar Rifa’i di Jawa menggunakan bahasa Jawa sebagian besar dalam bentuk sya’ir. Menurut keterangan bahwa beliau mengarang 4 judul kitab dan 60 kebet (2 halaman bolak- balik) “Tanbih” (peringatan) dalam bahasa melayu ketika berdakwah di Maluku yang kitab-kitabnya kemudian dikirimkan ke murid-muridnya di Jawa melalui kurir rahasia. Kemudian Ahmad Rifa’i dipindahkan ke Kampong Jawa Tondano kabupaten Minahasa, Menado dan meninggal dunia disana setelah berumur 89 tahun, dan dikuburkan bersama para pahlawan nasional lainnya seperti P. Diponegoro dan Kiyai Mojo di Bukit Tondasa Tondano, Menado. Disini beliau sempat berkeluarga lagi dan sampai kini keturunannya bertebaran di Tondano dan dikenal dengan Marga Rifa’i./to/my/10.
Tanbihun.com – Mengkaji sejarah merupakan sebuah upaya yang tidak mudah apalagi bila realitas sejarah tersebut terlah menjadi opini yang menghegemoni atau hanya sekedar suara simbang yang kurang dapat dibuktikan. Kenyataan tersebut menimpa sejarah ulama agung, Syeikh Siti Jenas, Keberadaannya yang misterius membuat pelbagai kalangan terjebak dalam data-data sejarah yang tidak bisa dibuktikan keabsahannya sampai sekarang.
Oleh sebab itu, melalui sebuah karya seorang ulama Jawa TImur, tersohor KH. Abil Fadhol Senori Tuban dalam karyanya “Ahla al Musamarah Fi Hikayah al-Auliya al Asyrah (Sekelumit hikmah tentang wali ke sepuluh). Penulis meraba menampilkan sejarah yang sinkron dengan realitas. Mendengar karya tersebut, tentu kita akan takjub, sebab selama ini yang terkenal di Jawa sebagai penyebar agama Islam adalah walisongo atau wali sembilan. Nah KH, ABil Fadhol ingin menyampaikan realitas abu-abu sejarah yang selama ini terabaikan sebab realitanya Syeikh Siti Jenar sering di klaim sebagai seorang ulama yang sesat dan menyesatkan. Gagasan KH. ABil Fadhol sebenarnya kian bergulir semenjak berpuluh-puluh tahun lalu, tapi karena kehati-hatian beliau kraya-karya beliau tidak di publikasikan secara umum. Akan tetapi saat ini banyak karya beliau yang sudah mulai dilirik oleh Kiai-kiai Pesantren Tanah Jawa, seperti ringkasan Aushah al-Masalik ala al-FIyah Ibnu Malik, Kawakib al-Lamah fi Tahqiq al Musamma bi Ahlussunah Wal Jamaah, Ahlal Musamarah (sebuah karya yang penulis jadikan rujukan utama dalam biografi Syeikh Siti Jenar dalam tulisan ini) dll. Bahkan ada karya beliau tentang Syarah Uqud al Juman fi Ilmi al-Balaghah. Yang belum selesai, karena beliau telah berpulang ke hadiratnya, sehingga proyek balaghah itu nunggu uluran tangan dari pada Kiai di Indonesia. Dan kabar yang penulis terima, tak satupun ulama Indonesia pada saat ini mampu menyelesaikan Maha Karya tersebut. Hanya seorang pakar balaghah dari Yaman lah yang mampu mencoba menyelesaikan, namun penulis tidak akan menyinggung banyak tentang KH. Abil Fadhal, tetapi penulis ingin menuangkan data-data beliau dengan realitas yang penulis jumpai.
Syeikh Siti Jenar mungkin tidak banyak yang mengetahui asal usulnya dikatakan bahwa beliau berasal dari seekor cacing yang berubah menjadi manusia, versi yang lain menyebutkan beliau berasal dari Persia, bahkan ada juga yang mengatakan bahwa beliau sebagai keturunan seorang empu kerajaan Majapahit.
Bagi penulis sumber-sumber tersebut tidak dapat disalahkan, akan tetapi juga tidak dapat dibenarkan secara mutlak, penulis hanya ingin menampilkan sosok Syeikh Siti Jenar alias Sunan Jepara alias Syeikh Abdul Jalil dengan di dukung beberapa data yang realistic, dalam sumber yang penulis terima, beliau merupakan keturunan (cucu) Syeikh Maulana Ishak, Syeikh Maulana Ishak merupakan saudara kandung Syeikh Ibrahim Asmarakandi dan Siti Asfa yang dipersunting Raja Romawi.
Syeikh Maulana Ishak merupakan putra-putri Syeikh Jumadil Kubra yang secara silsilah keturunan sampai ke Sayyidina Husein, Sayyidina Ali, sampai ke Rasulullah. Walaupun dalam versi lain yang Syeikh Maulana Ishak merupakan putra dari Syeikh Ibrahim Asmarakandi. Namun penulis tetap yakin dengan. Syeikh Ibrahim Asmarakandi menikah dengan Dewi Condro Wulan, putri Cempa yang menjadi saudara sekandung istri Prabu Brawijaya yang bernama Dewi Marthaningrum, Prabu Brawijaya (Rungka Wijaya) memiliki banyak istri diantaranya putri raja Cina yang bernama Dewi Martaningrum (Putri Campa) yang melahirkan Raden Patah dan Wandan Kuning yang melahirkan Lembu Peteng.
Sedangkan dari pernikahan Syeikh Ibrahim Asmarakandi dengan Dewi Candrawulan (saudara kandung Dewi Martaningrum, istri Prabu Brawijaya melahirkan tiga buah hati Raden Raja Pendita Raden Rahmat (Sunan Ampel) Sayyidah Zaenab. Setelah dewasa Raden Raja Pendita dan Raden Rahmat mampir ke tanah Jawa untuk mengunjungi bibinya yang dipersunting Prabu Brawijaya, tatkala akan kembali ke negeri Cempa, keduanya dilarang oleh Prabu Brawijaya, karena keadaan Cempa yang tidak aman, maka keduanya pun diberi hadiah sebidang tanag, dan diperbolehkan untuk menikah dan mukim di tanah Jawa, Raja Pendita menikah dengan anak Arya Baribea yang bernama Maduretno, sedangkan Raden Rahmat menikah dengan anak Arya Teja yang bernama Condrowati, dari pernikahan dengan Condrowati Raden Rahmat dianugerahi 5 putra, sayyidah Syarifah, Sayyidah Mutmainnah, Sayyidah Hafshah, Sayyid Ibrahim (Sunan Bonang) dan Sayyid Qosim (Sunan Drajat).
Adapun Syeikh Maulana Ishak menikah dengan seorang putri Pasa dengan dikaruniai dua orang putra, Siti Sarah dan Sayyid Abdul Qodir Raden Rahmat (Sunan Ampel) putra Ibrahim Asmaraqandi menyebarkan Islam di daerah Surabaya, sedangkan pamannya Syeikh Maulana Ishak meninggalkan istrinya di Pasai menuju ke kerajaan Blambangan (Jawa Timur Bagian Timur) walaupun tinggal disebuah bukit di Banyuwangi namun keberadaannya dapat diketahui pihak kerajaan dan beliau berhasil menyelamatkan kerajaan Blambangan dari bencana, sehingga beliau pun diberi hadiah Dewi Sekardadu putri Menak Sembuyu, Raja Blambangan. Pernikahan tersebutlah yang melahirkan Raden Paku Ainul Yakin (Sunan Giri), Sayyid Abdul Qodir dan Sayyidah Sarah sebagi buah hatinya tidak mau ketinggalan dengan ayahnya, keduanya mondok di Pesantren Ampeldenta asuhan Sunan Ampel (yang masih sepupunya) atas perintah Sang Ayah.
Setelah mumpuni keduanya pun dinikahkan, Siti Sarah dinikahi oleh Raden Syahid (Sunan Kalijaga) bin Raden Syakur (Adipati Wilatikta). Sedangkan Sayyid Abdul Qadir mempunyai himmah untuk belajar ilmu Tasawuf kepada Sunan Ampel. Diantara teman-temannya dialah yang sangat paham dalam menyingkap ilmu Tauhid secara tepat, tidak ingkar dan tidak kufur. Sebab tatkala orang seseorang memahami tauhid tentu keyakinannya terhadap Tuhan tidak akan ekstrim kanan (ingkar) atau ekstrim kiri (Kufur) tetapi berada dalam neutral point (Nughtah Muhayyidah)
Kegesitan dalam dunia dakwah melalui kedalaman teologi (tauhid) menarik simpati pelbagai keluarga Kraton Majapahit, termasuk Ki Ageng Pengging atau Kebo Kenanga untuk memeluk agama Islam, Ki Ageng Pengging dan Ki Ageng Tingkir adalah dua sosok guru yang mendidik Mas Karebet alias Joko Tingkir untuk menjadi manusia yang saleh ritual, sosial dan intelektual sehingga keberadaan Joko Tingkir seorang politisi mampu mendamaikan konflik politik antara Arya Penangsang dapat ditaklukkan, Jaka Tingkir memindahkan pusat kerajaan Demak ke Pajang dan menyerahkan kekuasaannya ke Sutawijaya. Sedangkan beliau mengembara dan berdakwah lewat jalur kultural, hingga meninggal di desa Pringgo Boyo Lamongan. Kesuksesan Ki Ageng Pengging mendidik Joko Tingkir tak lepas dari peran Sunan Abdul Jalil yang juga lihai dalam berpolitik.
Bila anda mengkaji literatur tentang beliau, banyak sekali yang menyebutkan bahwa kematian beliau diakibatkan karena faktor politik. Sebagaimana telah diteliti oleh Agus Sunyoto dalam 300 literatur Jawa. Jadi bukan karena ajaran “manunggaling kawulo gusti” (wahdatul wujud) yang kurang bisa dipahami oleh sebagian kalangan, memang wali sepuluh menyebarkan Islam tidak dengan kekerasan, melainkan dengan kearifan, hikmah, mauidhah hasanah, dan mujadalah lewat mata hati, sehingga akulturasi Budda, Hindu dan Islam adalah sebuah keniscayaa. Akan tetapi esensi ajaran Islam tetap mendominasi dan tidak bercampur dengan syirik dan kufur. Pernahkah kita berfikir, andaikan wali sepuluh memisahkan esensi Islam dengan budaya-budaya non Islam tersebut, tetu mungkin Islam belum mendarah daging dalam di Pulau Jawa hingga sekarang.
Sunan Abdul Jalil juga seorang wali yang juga menempuh metode tersebut, sehingga secara intelektual beliau berada dalam papan atas. Tak heran apabila banyak kalangan elit Majapahit yang masuk Islam. Santri-santrinya yang dikhawatirkan mencegah berdiri dan berkembangnya kerajaan Demak Bintoro. Sungguh sangat kejam hanya demi tegaknya Negara Syariat, Sunan Abdul Jalil di rendahkan reputasinya dan dituduh menyebarkan ajaran sesat.
Hal ini dapat anda buktikan dengan kematian misterius, tanpa diketahi tahun dan tempat eksekusi tersebut. Sehingga seolah-olah beliau hilang begitu saja. Padahal santri-santrinyapun aman dan tidak mendapatkan tekanan dari penguasa, seperti Kiai Ageng Pengging alias Kebo Kenanga yang berhasil mendidik Joko Tingkir. Konflik antara poyek besar Negara Islam yang berpusat di Demak Bintoro dan Glagah Wangi Jepara, inilah yang menjadikan nama harum sebagai Sunan Jepara alias Syeikh Abdul Jalil makamnya yang terletak di dekat Ratu Kalimanyat (Bupati Pertama Jepara) sampai sekarang banyak diziarahi orang. Memang proyek Demak Bintoro merupakan garapan kontraversial, sebabb Raden Patah sebagai pendiri merupakan anak dari Raden Brawijaya, seolah-olah Demak ingin membangun sebuah kerajaan New Majapahit versi Islam. Tak heran bila setelah Raden Trenggono wafat banyak tarik ulur kekuasaan, terutama Glagah Wangi (Jepara) dengan pusat kearajaan (Demak Bintoro) oleh sebab itu tak heran bila kemudian Joko Tingkir memindahkannya ke Pajang.
Begitulah sekelumit sejarah tentang Syeikh Siti Jenar alias Syeikh Abdul Jalil atau Sunan Jepara, lebih jelasnya anda dapat mengunjungi makamnya dan dapat bertanya kepada juru kunci makam tersebut. Yang telah menutup rapat-rapat selama bertahun-tahun. Wallahu ‘alaam
0 komentar:
Posting Komentar